Tradisi Sakral Sebelum Mendirikan Rumah: Warisan Leluhur yang Kini Mulai Ditinggalkan
Pampangan, morgesiwe.com – Di balik kokohnya bangunan rumah-rumah tempo dulu di Bumi Serasan Sekate, tersimpan warisan budaya yang penuh makna. Tradisi dan kepercayaan masyarakat dalam membangun rumah tidak sekadar proses teknis semata, tetapi menyimpan nilai-nilai spiritual dan gotong royong yang kental. Sayangnya, jejak kearifan lokal ini kini mulai memudar ditelan zaman.
Dahulu, sebelum mendirikan rumah, masyarakat akan mengadakan acara persedekahan pada malam hari di lokasi pembangunan. Acara ini diisi dengan pembacaan Surah Yasin, zikir, dan doa bersama, sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan untuk rumah yang akan dibangun serta penghuninya kelak.
Puncak dari ritual malam itu adalah penanaman dua tiang utama rumah yang harus dilakukan tepat tengah malam, pukul 24.00 WIB. Kedua tiang ini ditanam di posisi paling tengah dan diyakini sebagai penopang utama keselamatan rumah. Namun, sebelum ditanam, ke dalam lubang tiang terlebih dahulu dimasukkan benda-benda simbolis yang diyakini membawa manfaat, seperti ijuk, buah enau, ikan betok, dan lainnya, tergantung kepercayaan masing-masing pemilik rumah.
Yang menarik, dua tiang utama ini kemudian diberi pakaian—satu dengan pakaian laki-laki, satu lagi dengan pakaian perempuan. Sebuah simbol harmonisasi dan keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga yang akan dijalani.
Gotong Royong ‘Nyambat’ Warnai Proses Pembangunan
Keesokan harinya, proses pembangunan dilanjutkan dengan semangat gotong royong, atau dikenal dengan istilah lokal "Nyambat." Dalam tradisi ini, masyarakat sekitar seperti tetangga, kerabat, dan sanak famili akan bergotong royong membantu penggalian dan pemasangan tiang. Tradisi Nyambat ini biasanya hanya berlaku satu hari, sisanya akan dilanjutkan oleh tukang bangunan.
Namun, tak hanya saat awal pembangunan, Nyambat juga dilakukan saat pemasangan genting atau atap rumah, sebagai bentuk kebersamaan dan tolong-menolong yang sudah menjadi budaya turun-temurun.
Tujuh Janda dan Tujuh Malam: Tradisi Mistis yang Telah Hilang
Salah satu bagian paling unik dari tradisi ini adalah ritual menginapkan tujuh orang janda selama tujuh malam di rumah yang akan ditempati. Tradisi ini dipercaya sebagai cara untuk ‘mendinginkan’ rumah dan menghindari gangguan makhluk halus sebelum rumah benar-benar ditinggali. Meski terdengar mistis, praktik ini dahulu diyakini kuat oleh masyarakat.
Sayangnya, seiring perkembangan zaman dan modernisasi, tradisi-tradisi ini perlahan punah dan ditinggalkan. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap prosesi—dari doa, simbol spiritual, hingga gotong royong—mulai tergeser oleh pola pikir praktis dan modern.
Padahal, warisan budaya semacam ini menyimpan filosofi kehidupan yang dalam, memperkuat hubungan antarwarga, dan menjadi identitas yang khas bagi masyarakat daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar