Selasa, 15 April 2025

Festival Budaya OKI Sukses Meriahkan Perayaan Idul Fitri 1445 H dengan Tradisi Unik


 KAYUAGUNG, morgesiwe.com – Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kembali mengukir prestasi dalam melestarikan kekayaan budaya lokal melalui serangkaian acara tradisional yang meriah. Festival budaya yang digelar dalam rangka perayaan Idul Fitri 1445 H ini, menghadirkan sejumlah tradisi unik seperti Midang Morge Siwe, Cakat Stempel, dan Festival Cang Incang, yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Antusiasme warga Kayuagung semakin terlihat jelas dengan semaraknya acara tahunan ini. Weni, salah seorang warga Kelurahan Jua-Jua, Kayuagung, menyampaikan, "Tahun ini lebih meriah dan semarak, semoga ke depannya bisa lebih ditingkatkan lagi," ungkapnya dengan penuh semangat.

Kehadiran Pimpinan OKI Menambah Semangat

Bupati OKI, H. Muchendi Mahzareki, dan Ketua TP PKK Kabupaten OKI, Ike Muchendi, turut hadir di tengah-tengah masyarakat, memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan acara. Kehadiran mereka semakin menambah semarak suasana, seperti yang diungkapkan oleh Novi, warga Kelurahan Sukadana, "Pak Bupati dan Ibu selalu hadir, ini menambah semangat kebersamaan dalam merayakan Idul Fitri."

Komitmen untuk Melestarikan Budaya

Bupati Muchendi dalam sambutannya menyampaikan kebanggaannya atas antusiasme masyarakat dalam melestarikan tradisi lokal yang menjadi jati diri Kabupaten OKI. "Saya sangat bangga melihat semangat kita semua. Ini bukti bahwa budaya kita masih hidup dan terus menguat. Ke depan, penyelenggaraan event ini akan kita tingkatkan," tegasnya dengan penuh komitmen.

Dukungan penuh juga datang dari Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru, yang menegaskan bahwa Pemprov Sumsel siap mendukung pelestarian budaya melalui alokasi dana sebesar Rp1 miliar untuk festival budaya OKI tahun depan. "Pelestarian budaya harus kita kedepankan sebagai jati diri bangsa. Pemprov Sumsel siap mendukung dengan anggaran Rp1 miliar," ujar Gubernur Herman Deru.

Kehadiran Tokoh-Tokoh Penting

Festival budaya ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, yang turut memeriahkan acara. Di antaranya adalah:

  • Gubernur Sumsel, H. Herman Deru

  • Anggota DPR RI, H. Ishak Mekki (mantan Bupati OKI dua periode, hadir pada hari pertama)

  • Mantan Bupati OKI 2014–2023, H. Iskandar, SE (hari kedua)

  • Sekda Sumsel, H. Edwar Chandra

Apresiasi untuk Para Pemenang Lomba

Festival budaya ini dimeriahkan dengan berbagai lomba tradisional yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Berikut adalah daftar pemenang lomba yang berprestasi:

  1. Lomba Cang Incang

    • Juara I: Kelurahan Sida Kersa

    • Juara II: Kelurahan Jua-Jua

    • Juara III: Kelurahan Mangun Jaya

  2. Lomba Lagu Daerah Kayuagung

    • Juara I: Tasya Nurhabiba (Kelurahan Kotaraya)

    • Juara II: Hamdi (Kelurahan Cinta Raja)

    • Juara III: M. Farhan Ramadhan (Kelurahan Sida Kersa)

  3. Pengantin Inti Maju Terbaik

    • Juara I: Kelurahan Jua-Jua

    • Juara II: Kelurahan Mangun Jaya

    • Juara III: Kelurahan Sida Kersa

  4. Lomba Video Promosi Kelurahan

    • Juara I: Kelurahan Mangun Jaya

    • Juara II: Kelurahan Jua-Jua

    • Juara III: Kelurahan Tanjung Rancing

Pelestarian Budaya dan Masa Depan Festival

Festival budaya ini bukan hanya sekadar ajang hiburan, tetapi juga menjadi bukti nyata komitmen Pemerintah OKI dan masyarakat dalam melestarikan warisan budaya lokal. Dengan dukungan penuh dari Pemprov Sumsel, diharapkan event serupa dapat semakin besar dan meriah di tahun-tahun mendatang, sehingga semakin banyak masyarakat yang ikut berperan aktif dalam melestarikan tradisi budaya OKI.

Lebaran Semakin Semarak, Ribuan Warga Padati Kayuagung Saksikan Midang Bebuke & Lomba Cang Incang


Kayuagung, morgesiwe.comSuasana Lebaran di Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, terasa semakin istimewa. Rabu (2/4/25), ribuan warga tumpah ruah memenuhi tepian Sungai Komering untuk menyaksikan tradisi budaya Midang Bebuke dan lomba sastra tutur ‘Cang Incang’ yang memukau.

Selepas salat Zuhur, pemandangan unik tersaji. Puluhan pasangan muda-mudi berbusana adat pengantin dan pakaian tradisional berarak menyusuri sungai dengan perahu, diiringi lantunan jidur—musik tradisional dari setiap kelurahan. Rombongan berhenti di halaman Pantai Love, Kelurahan Sida Kersa, disambut langsung oleh Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Bupati OKI Muchendi Mahzareki, anggota DPR RI Ishak Mekki, serta jajaran Forkopimda OKI.

Midang Bebuke: Warisan Sejak Abad ke-17 yang Tetap Hidup

Midang Bebuke bukan sekadar pawai budaya. Tradisi yang telah ada sejak abad ke-17 ini merupakan ajang untuk menampilkan kekayaan busana adat Suku Kayuagung, yang digelar setiap hari ketiga dan keempat Lebaran.

"Midang itu ada dua, Midang Begorok yang dilakukan saat pesta pernikahan, dan Midang Bebuke khusus untuk Lebaran. Tujuannya memperkenalkan ragam pakaian adat kepada masyarakat, terutama generasi muda," jelas Ahmadin Ilyas, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata OKI.

Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan kini menjadi daya tarik wisata budaya unggulan di Kabupaten OKI.

Cang Incang: Tradisi Lisan yang Disulap Jadi Ajang Kreativitas Gen Z

Tak hanya visual budaya yang memukau, suasana Lebaran juga dimeriahkan lomba ‘Cang Incang’—sastra lisan yang biasa dilantunkan saat prosesi adat pernikahan. Tahun ini, lomba ini dikemas kekinian untuk menggugah semangat generasi Z agar ikut melestarikan budaya leluhur.

“Saya bangga masyarakat OKI tetap menjaga jati dirinya. Ini bukti bahwa budaya kita tetap hidup dan adaptif terhadap zaman,” ujar Gubernur Herman Deru usai menyaksikan lomba tersebut.

Sementara itu, Bupati OKI Muchendi Mahzareki menegaskan bahwa Midang dan Cang Incang bukan hanya milik OKI, tapi bagian dari identitas bangsa.

“Ini adalah kekayaan yang menyatukan kita. Tahun depan, kami berkomitmen untuk membuat perayaannya lebih meriah. Kita jaga budaya, kita jaga kerukunan,” tandas Muchendi.

Semarak, Meriah, dan Penuh Makna

Antusiasme masyarakat yang luar biasa membuktikan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang kuno, melainkan warisan yang hidup dan terus berkembang. Midang Bebuke dan Cang Incang adalah cermin kecintaan warga OKI terhadap budaya—sebuah contoh bagaimana warisan leluhur bisa menjadi inspirasi kekinian.

#BudayaOKI #MidangBebuke #CangIncang #WarisanBudaya #LebaranKayuagung

Budaya Tetap Hidup di Tengah Modernisasi, Midang Bebuke Kayuagung Dapat Apresiasi Gubernur Sumsel


Kayuagung, morgesiwe.comTradisi budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga napas kebersamaan yang terus menghidupkan jati diri suatu daerah. Hal itu terbukti dalam perayaan meriah Midang Bebuke 2025 yang digelar di Pantai Love, Kelurahan Sidakersa, Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Rabu (2/4/2025). Kehadiran Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru menambah semarak sekaligus menjadi bentuk apresiasi atas upaya pelestarian budaya lokal.

“Saya sangat bangga dengan masyarakat OKI, khususnya Kayuagung, yang tetap mempertahankan adat dan budayanya di tengah arus modernisasi. Tradisi seperti Midang ini memperkuat nilai silaturahmi dan kebersamaan,” ujar Deru penuh semangat.

Menurut Deru, budaya seperti Midang tak hanya mempererat hubungan sosial, tetapi juga memperkuat identitas daerah. Ia bahkan menyampaikan keyakinannya terhadap masa depan OKI di bawah kepemimpinan Bupati H. Muchendi Mahzareki.

“OKI akan terus berkembang tanpa kehilangan akar budayanya. Generasi muda harus bangga dan menjadi garda depan dalam menjaga budaya sendiri,” tambahnya.

🎎 Midang Bebuke: Dari Tradisi ke Warisan Nasional

Midang Bebuke merupakan tradisi arak-arakan pengantin yang dilaksanakan pada hari ketiga dan keempat Lebaran. Tahun ini, kemeriahannya terasa lebih semarak. Warga tumpah ruah di pinggiran Sungai Komering untuk menyaksikan iring-iringan pengantin dalam balutan busana adat, lengkap dengan hiasan perahu yang artistik.

Bupati OKI H. Muchendi Mahzareki mengungkapkan bahwa Midang tak lagi hanya milik masyarakat OKI, tetapi telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional.

“Midang adalah jati diri kita, simbol persatuan dan kekayaan budaya Indonesia. Antusiasme masyarakat menunjukkan bahwa budaya ini tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang,” ujar Muchendi.

Tak hanya parade pengantin, gelaran ini juga dimeriahkan dengan lomba lagu daerah, seni cang incang (sastra tutur khas Kayuagung), pemilihan pengantin terbaik, serta lomba video promosi budaya antar-kelurahan.

🎉 Budaya Jadi Magnet Wisata

Midang Bebuke kini tak hanya menjadi agenda tahunan, tapi juga ikon pariwisata budaya OKI. Banyak perantau memilih mudik tepat waktu demi menyaksikan dan turut merasakan semarak tradisi ini. Pantai Love pun menjadi titik kumpul masyarakat dari berbagai penjuru.

“Dengan semangat pelestarian yang kuat, OKI bisa menjadi contoh nasional dalam menjaga budaya sekaligus memanfaatkannya sebagai daya tarik wisata,” pungkas Bupati Muchendi.

Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, OKI meneguhkan diri sebagai wilayah yang tak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga siap melangkah ke masa depan tanpa melupakan akar budayanya.

🟢 #BudayaOKI #MidangBebuke #WisataBudaya #Sumsel #PelestarianAdat

Meriah dan Penuh Warna, Beginilah Tradisi Lebaran Khas Kayuagung yang Bikin Rindu Kampung Halaman

 


Kayuagung, morgesiwe.com – Saat Lebaran tiba, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, seolah menjelma menjadi panggung budaya yang semarak. Lebaran di sini bukan hanya tentang bersalam-salaman dan makan ketupat, tapi juga soal merayakan kekayaan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Tahun ini, tiga tradisi ikonik kembali menyedot perhatian: Midang Bebuke, Cang Incang, dan Cakat Stempel.

Midang Bebuke: Arak-arakan Pengantin di Sungai Komering

Di hari ketiga dan keempat Lebaran, Sungai Komering menjadi saksi kemegahan arak-arakan puluhan pasangan pengantin yang tampil memukau dalam balutan busana adat Kayuagung. Diiringi musik tanjidor yang mengalun meriah, iring-iringan ini menyusuri sungai dan berakhir di halaman Pantai Love, Kelurahan Sida Kersa.

Tradisi ini bukan hanya memperlihatkan kemeriahan pernikahan adat, tetapi juga menjadi etalase budaya Suku Kayuagung. Dari detail busana pengantin hingga aksesoris tradisional, semuanya menyuarakan identitas yang kuat. Midang Bebuke sudah eksis sejak abad ke-17 dan tetap lestari hingga kini—bukti bahwa warisan budaya bisa terus hidup di tengah modernitas.

Cang Incang: Seni Lisan yang Menginspirasi Generasi Z

Salah satu kejutan menyenangkan tahun ini adalah antusiasme anak muda, termasuk Generasi Z, terhadap lomba Cang Incang. Ini adalah bentuk sastra tutur tradisional yang sarat dengan petuah, humor, dan filosofi hidup masyarakat setempat.

"Cang Incang bukan sekadar lomba, tapi cara kami menjaga warisan nenek moyang tetap hidup," ujar seorang panitia penyelenggara. Dengan gaya bertutur yang khas, para peserta mampu menyampaikan pesan moral yang relevan dengan kehidupan masa kini—semua dikemas dalam irama dan diksi yang indah.

Cakat Stempel: Sensasi Speedboat dan Filosofi “Dak Basah, Dak Lebaran”

Lebaran di Kayuagung juga tak lengkap tanpa Cakat Stempel—tradisi naik speedboat di Sungai Komering yang jadi favorit semua kalangan. Puluhan speedboat melaju kencang, menyemprotkan air ke penumpang yang bersorak riang.

Bukan sekadar hiburan, Cakat Stempel menyimpan makna dalam lewat slogan populernya: "Dak Basah, Dak Lebaran", yang berarti "kalau tidak basah, bukan Lebaran namanya". Tradisi ini menjadi simbol bahwa kebahagiaan Lebaran adalah tentang kebersamaan, tawa, dan nostalgia masa kecil.

Lebaran di Kayuagung: Antara Tradisi, Rasa Rindu, dan Cinta Budaya

Tak heran jika banyak perantau yang rela pulang kampung hanya untuk merasakan suasana Lebaran yang begitu khas di Kayuagung. Tradisi-tradisi ini tak hanya mempererat silaturahmi, tapi juga menjadi pengikat emosional antara generasi masa kini dengan akar budayanya.

"Lebaran di Kayuagung selalu punya tempat di hati. Dari Midang Bebuke hingga Cakat Stempel, semuanya bikin rindu kampung halaman," ujar Rina, salah seorang warga yang mudik tahun ini.

Dengan keberagaman tradisi yang tetap hidup dan berkembang, Kayuagung menunjukkan bahwa Lebaran bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi juga momentum budaya yang penuh makna dan warna.


#LebaranDiKayuagung #MidangBebuke #CangIncang #CakatStempel #BudayaOKI #SumselBerkisah #morgesiwe

Rabu, 14 Oktober 2020

Rumah Depati Bahar, Warisan Sejarah Bengkulah yang Masih Tegak Berdiri di Pulau Gemantung


OKI, morgesiwe.com – Di tengah derasnya arus modernisasi, sebuah rumah kayu tua berdiri megah dan kokoh di Desa Pulau Gemantung Induk, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Rumah ini bukan bangunan biasa. Ia adalah Rumah Depati Bahar, saksi bisu perjalanan sejarah, budaya, dan spiritual masyarakat Komering Bengkulah yang telah melintasi lebih dari satu abad zaman.

Dibangun 14 tahun setelah letusan Gunung Krakatau tahun 1883, rumah adat Bengkulah ini merupakan peninggalan dari Pangeran dan Pesirah Kemargaan Bengkulah yang berpusat di Desa Negeri Ratu—kini Dusun III Pulau Gemantung Induk.



Pulau Gemantung sendiri adalah desa tua yang telah dimekarkan menjadi empat wilayah, namun tetap satu hati secara budaya. Masyarakatnya merupakan turunan langsung dari Suku Komering Bengkulah, klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak dan bermigrasi ke wilayah Sumsel sejak abad ke-7.

Rumah Depati Bahar memiliki luas 120 meter persegi dan dibangun tanpa paku, menggunakan sistem baji dengan kayu merawan dan unglen. Arsitekturnya sarat dengan nilai filosofi—menghadap ke timur sebagai simbol harapan dan kearifan, serta mencerminkan kekuatan adat dan agama yang membingkai kehidupan masyarakat Komering Bengkulah.

“Tidak ada yang berubah, yang berubah hanya zaman. Dulu rumah ini baru, sekarang tampak tua,” canda Syaiful Bahar bin Depati Bahar, keturunan langsung pendirinya, Haji Rais.



Interior rumah dipenuhi ukiran khas Palembang dan Sriwijaya. Di ruang tamu terpajang foto-foto lawas para leluhur dan benda-benda peninggalan sejarah seperti guci tua dan peti kayu misterius yang keberadaannya masih menyimpan cerita tak terungkap.

Syaiful Bahar menuturkan, rumah ini dahulu adalah pusat pemerintahan marga. Dibangun kembali setelah kebakaran besar di Tiuh Usang (kini Pulau Gemantung Ilir), rumah tersebut menjadi simbol keteguhan masyarakat mempertahankan nilai dan identitas mereka.

Pengaruh budaya dari Kerajaan Sriwijaya, Kepaksian Skala Brak, hingga Kesultanan Palembang Darussalam begitu kental terasa di rumah ini—mulai dari bahasa, tata ruang, hingga makanan tradisional.



Kini, Rumah Depati Bahar telah diakui sebagai Cagar Budaya oleh Dinas Pariwisata OKI, sebagai wujud penghargaan terhadap warisan leluhur.

“Zaman boleh berubah, tapi manusia jangan berubah. Boleh ilmu setinggi langit, tapi jangan lupakan bumi. Ingat, leluhur kita berpegang teguh pada agama,” pesan Syaiful kepada generasi muda.

Rumah ini bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, tapi juga pengingat akan jati diri yang mesti dijaga oleh generasi masa kini dan mendatang.



Selasa, 13 Oktober 2020

Danau Teloko, Wisata Eksotis dari Desa yang Kini Jadi Primadona Baru di OKI


Kayuagung, morgesiwe.com – Hari libur tak perlu dihabiskan jauh-jauh keluar kota. Kini, masyarakat Ogan Komering Ilir (OKI) dan sekitarnya punya destinasi wisata eksotis yang sayang untuk dilewatkan: Danau Teloko yang terletak di Desa Tanjung Serang, Kecamatan Kota Kayuagung.

Danau cantik ini sukses menyita perhatian ribuan wisatawan sejak diresmikan oleh Bupati OKI Nonaktif, H. Iskandar, SE, pada Februari lalu. Dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tanjung Mayan, Danau Teloko menjelma menjadi destinasi unggulan berbasis desa yang mendatangkan banyak manfaat, baik untuk masyarakat maupun pemerintah desa.

“Kalau hari libur atau akhir pekan bisa sampai 300 pengunjung per hari. Hari biasa juga tetap ramai, bisa sampai 50 orang,” ungkap Hermayani, Kepala Desa Tanjung Serang, Minggu (4/3/25).

Menurutnya, antrian panjang di dermaga menjadi pemandangan lumrah, terutama pada hari libur. Para pengunjung rela menunggu giliran menaiki perahu getek demi menikmati suasana danau yang tenang dan memikat.

Ramai di Media Sosial, Laris Manis di Lapangan

Popularitas Danau Teloko semakin meningkat berkat peran media sosial. Banyak pengunjung mengaku penasaran setelah melihat foto-foto indahnya danau bertebaran di dunia maya.

“Tahu dari medsos, ramai. Kelihatan bagus, jadi penasaran dan langsung datang ke sini,” kata Triyanti Said, salah satu pengunjung.

Dengan luas sekitar 250 hektar, Danau Teloko menyuguhkan panorama air tenang yang menyejukkan mata. Bentangan alam yang luas berpadu dengan hembusan angin menjadikan tempat ini cocok untuk melepas penat dari rutinitas.

Pendapatan Desa Meningkat, Warga Ikut Sejahtera

Tak hanya menyuguhkan keindahan, keberadaan Danau Teloko juga memberi dampak ekonomi yang signifikan. Dalam waktu kurang dari sebulan sejak dibuka, BUMDes telah mencatatkan pendapatan mencapai Rp28 juta.

“Alhamdulillah, warga ikut senang. Mereka mendapat tambahan penghasilan dari sewa perahu dan parkir kendaraan,” ujar Hermayani dengan sumringah.

Wisata Murah, Fasilitas Lengkap

Pemerintah Desa tak berhenti berinovasi. Tahun ini, rencananya akan dibangun spot wisata baru di pulau tengah danau. Pengunjung juga bisa menikmati paket wisata lengkap seharga Rp70.000 per orang, termasuk trip keliling danau dengan kapal BUMDes berkapasitas 20 penumpang dan makan siang.

“Tiket reguler hanya Rp15.000 per orang, sudah termasuk sewa getek. Lokasinya pun sangat strategis, hanya 20 menit dari pusat Kota Kayuagung,” jelas Camat Kota Kayuagung, Dedy Kurniawan, S.STP.

Untuk yang ingin bersantai sambil kulineran, pengelola menyediakan restoran terapung yang menyajikan hidangan khas daerah. Bagi pecinta mancing, Danau Teloko juga menjadi spot favorit, baik dari tepian maupun di atas perahu.

Dengan semua potensi dan kenyamanan yang ditawarkan, Danau Teloko menjadi bukti nyata bahwa pembangunan berbasis desa bisa menjadi solusi wisata lokal yang berdampak luas.

Senin, 12 Oktober 2020

Sedekah Obat, Tradisi Adat Desa Jermun yang Sarat Makna dan Kembali Dihidupkan

OKI, morgesiwe.com – Suasana magrib di Desa Jermun, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tampak berbeda dari biasanya. Warga berbondong-bondong menuju tanah lapang, mulai dari orang tua, pemuda, hingga anak-anak, semua berkumpul untuk mengikuti ritual adat tahunan yang dikenal dengan nama Sedekah Obat.

Tradisi yang sarat nilai spiritual dan sosial ini telah menjadi bagian dari warisan budaya Desa Jermun. Sore itu, sekelompok pemuda tampak mengelilingi warga dengan kayu memali—sejenis gaharu yang telah dikupas bersih—lalu menyusunnya membentuk lingkaran yang mengurung peserta ritual. Ketika waktu ritual dimulai, tidak ada seorang pun yang diperkenankan keluar masuk dari lingkaran sakral tersebut.

Ketua adat desa kemudian muncul membawa teko besar berisi air yang telah dicampur rempah daun paya, diikuti para pemuda dengan teko serupa. Air tersebut dipercikkan satu per satu kepada warga, menandai dimulainya prosesi suci tersebut.

Usai ritual, warga menikmati beragam hidangan tradisional seperti lemang, sagon, gula kelapa, dan pisang emas—simbol kebersamaan dalam kesederhanaan.



Empat Hari Penuh Makna

Ritual Sedekah Obat berlangsung selama empat hari berturut-turut. Hari pertama hingga ketiga, warga menjalani masa pantang, dilarang ke sawah, kebun, bahkan memegang senjata tajam. Hari ketiga disebut pantang perit, di mana aktivitas berat benar-benar tidak diperbolehkan.

Menjelang magrib, setiap rumah memasang bambu kuning di atap sebagai simbol keberanian dan kesejahteraan. Jumlah bambu kuning menjadi penanda berapa kali penghuni rumah mengikuti ritual ini. Di bawah tangga rumah, kepala keluarga membakar sabut kelapa sebagai simbol pengusiran mara bahaya. Malam harinya, suasana sunyi. Tak satu pun warga berani keluar rumah.

Puncaknya, pada hari keempat, digelar Sedekah Dawet. Warga yang mampu menyajikan kolak dawet di rumah masing-masing membagikannya kepada tetangga dan warga yang membutuhkan. Dengan ini, rangkaian Sedekah Obat dinyatakan selesai.

Wujud Gotong Royong dan Syukur kepada Alam

Menurut Kepala Desa Jermun, Abus Roni, ritual ini bukan sekadar tradisi, tapi juga bentuk syukur dan doa bersama demi keselamatan dan kebahagiaan warga desa, serta hasil pertanian yang melimpah.

“Ini bentuk sedekah kepada desa, agar terhindar dari segala macam mara bahaya. Tradisi ini sempat lama tidak digelar, dan di tahun kedua kepemimpinan saya, saya ingin menghidupkannya kembali,” ungkapnya, Sabtu (11/11).

Kasubbag Media dan Komunikasi Publik Setda OKI, Adi Yanto, yang juga merupakan putra asli Desa Jermun, turut mengapresiasi pelestarian tradisi ini. Ia menyebut, sejak kecil ia telah akrab dengan tradisi ini yang menurutnya merupakan bentuk rasa syukur dan keterikatan masyarakat terhadap alam.

“Sebagian besar warga adalah petani, dan ketergantungan terhadap alam sangat tinggi. Ini adalah cara mereka menghormati dan bersyukur kepada bumi,” jelas Adi.

Adi berharap ritual ini tak sekadar bertahan, tetapi juga bisa menjadi destinasi wisata budaya yang memperkaya khasanah budaya Ogan Komering Ilir.

“Ini warisan leluhur yang harus dijaga dan dikenalkan ke generasi muda. Bahkan bisa menjadi daya tarik wisata budaya OKI,” pungkasnya.

Rabu, 09 Oktober 2019

Penemuan Benda Diduga Cagar Budaya di Kecamatan Cengal, OKI, Dilaporkan ke Pemkab OKI

Cengal, OKI – Tim Arkeologi yang terdiri dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbagsel, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta unsur TNI dan Polri, melaporkan hasil observasi di lokasi penemuan benda yang diduga cagar budaya di Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kepada Pemerintah Kabupaten OKI, Rabu (8/10).

Kepala Balai Arkeologi Sumsel, Budi Wiyana, mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan observasi lapangan dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar terkait penemuan benda-benda tersebut. Meski demikian, Budi menekankan bahwa pihaknya belum dapat memastikan apakah benda tersebut merupakan peninggalan Sriwijaya atau bukan, karena dibutuhkan riset lebih mendalam.

“Kami melakukan observasi lapangan serta sosialisasi kepada masyarakat sekitar terkait penemuan benda-benda tersebut. Kami tidak bisa memastikan apakah itu benda cagar budaya peninggalan Sriwijaya atau bukan karena dibutuhkan riset lebih mendalam,” ujar Budi.

Sejak 2000 silam, Balai Arkeologi Sumsel telah melakukan penelitian di pesisir timur OKI dan menemukan berbagai situs bersejarah di beberapa lokasi seperti Karang Agung, Air Sugihan, dan Tulung Selapan, yang menyimpan tiang-tiang pemukiman.

Sementara itu, Ignatius Suharno, peneliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbagsel, merekomendasikan langkah-langkah penyelamatan terhadap hasil temuan benda yang diduga cagar budaya tersebut. Ia menekankan pentingnya penyelamatan dan identifikasi benda-benda tersebut untuk keperluan penelitian dan dokumentasi.

“Untuk kepentingan penelitian dan identitas, perlu langkah tepat agar kejadian ini tidak berulang. Jika tidak memiliki data, setidaknya kita memegang informasi tentang barang-barang penemuan tersebut,” kata Suharno.

Beberapa rekomendasi tim arkeologi untuk Pemkab OKI meliputi sosialisasi kepada masyarakat mengenai perlindungan cagar budaya, dampak sosial, serta kesehatan bagi warga yang mencari benda-benda diduga cagar budaya. Selain itu, disarankan pembentukan tim yang terdiri dari berbagai unsur untuk pelestarian dan perlindungan lokasi tersebut, serta penetapan cagar budaya di masa mendatang.

“Langkah awalnya adalah penyelamatan dulu lokasi dan benda-benda yang ditemukan,” tambah Suharno.

Asisten I Setda OKI, Antonius Leonardo, mengungkapkan bahwa Pemkab OKI akan segera menindaklanjuti rekomendasi tersebut setelah menerima laporan tertulis dari tim observasi. Menurutnya, koordinasi dengan Balai Arkeologi dan BPCB terus dilakukan guna memastikan pelestarian benda-benda bersejarah ini.

“Koordinasi berbagai sektor ini terus kita kuatkan, masyarakat juga kita minta untuk melapor jika menemukan benda-benda diduga cagar budaya,” tutup Antonius.

Pemkab OKI berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya yang ada di daerah ini, agar generasi mendatang dapat menikmati dan mempelajari sejarah yang terkandung di dalamnya. (0ni)

Apresiasi untuk Pemkab dan Polres OKI: Cegah Kerawanan Sosial di Lokasi Penemuan Diduga Cagar Budaya

OKI, morgesiwe.com – Tim arkeologi yang terdiri dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbagsel mengapresiasi respons cepat Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan jajaran Polres OKI dalam menangani potensi kerawanan sosial di Kecamatan Cengal, lokasi ditemukannya benda-benda yang diduga sebagai cagar budaya.

“Kami sangat mengapresiasi langkah cepat dari Pak Bupati dan Kapolres dalam mengantisipasi potensi gangguan sosial di lokasi. Bahkan Kapolres turun langsung ke lokasi sebelum tim kami tiba,” ujar Kepala Balai Arkeologi Sumsel, Budi Wiyana, saat berada di Kantor Bupati OKI, Rabu (11/10).

Namun demikian, Budi menegaskan bahwa tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa benda-benda tersebut adalah harta karun atau cagar budaya tanpa kajian ilmiah mendalam.

“Kalau langsung disebut harta karun, kesannya seperti barang yang harus diburu. Kami para peneliti sangat berhati-hati dalam memberikan label terhadap temuan seperti ini,” jelasnya.

Edukasi dan Himbauan Jadi Kunci

Peneliti dari BPCB Sumbagsel, Ignatius Suharno, juga menyarankan agar dilakukan penguatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar lokasi penemuan.

“Langkah-langkah yang diambil Polsek dan Polres berupa imbauan hukum terkait dampak dari penggalian dan perusakan situs diduga cagar budaya sangat kami apresiasi. Edukasi dan penyadaran masyarakat adalah langkah preventif yang sangat penting,” tegas Suharno.

Pemerintah Daerah dan Aparat Turun Tangan

Sebelumnya, Bupati OKI H. Iskandar, SE, menghimbau agar masyarakat tidak melakukan penggalian liar dan segera melaporkan jika menemukan benda yang dicurigai sebagai cagar budaya di wilayah Kecamatan Cengal.

“Berdasarkan undang-undang, masyarakat wajib melaporkan setiap penemuan benda yang memiliki nilai sejarah atau potensi sebagai cagar budaya. Jangan sembarangan menggali,” kata Iskandar, Sabtu (6/10).

Senada dengan itu, Kapolres OKI AKBP Dony Eka Saputra turut menghimbau warga agar tidak tergiur melakukan pencarian benda berharga tanpa dasar ilmiah.

“Bisa jadi sudah keluar banyak uang tapi tidak mendapatkan apa-apa. Ini dapat menimbulkan konflik antara warga lokal dan pendatang,” ujarnya.

Kapolres juga mengingatkan bahwa aktivitas berbondong-bondong ke lokasi bisa dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab.

“Rumah yang ditinggalkan pemiliknya karena sibuk mencari bisa jadi sasaran kriminal. Ini yang perlu diantisipasi bersama,” pungkasnya.

Minggu, 06 Oktober 2019

Kapolda Sumsel Pantau Udara Cengal, Antisipasi Kerawanan Sosial Akibat Penemuan Benda Diduga Cagar Budaya

Cengal, morgesiwe.com – Penemuan sejumlah benda yang diduga sebagai cagar budaya di Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menyita perhatian berbagai pihak. Dikhawatirkan memicu kerawanan sosial dan maraknya perburuan harta karun ilegal, Kapolda Sumsel, Irjen Pol Drs. Firli Bahuri, melakukan pemantauan udara langsung ke wilayah tersebut pada Minggu (6/10).

Pantauan udara ini dilakukan untuk meninjau potensi gangguan keamanan akibat aktivitas penggalian liar dan ancaman penyelundupan benda bersejarah ke tangan pihak asing.

“Kerawanan itu yang kami antisipasi. Ini sudah menjadi atensi langsung dari Kapolda,” ujar Sekretaris Daerah OKI, H. Husin, usai menyambut kunjungan Kapolda di Mapolres OKI.

Kapolda Sumsel, melalui Kapolres OKI, AKBP Donni Eka Syaputra, memerintahkan jajarannya untuk terus mengawal dan memantau lokasi-lokasi penemuan tersebut.

“Beliau (Kapolda) tidak turun langsung ke darat, tapi memantau melalui udara. Kami mengimbau masyarakat agar tidak melakukan penggalian massal dan melaporkan setiap penemuan kepada pihak berwenang,” tegas Kapolres Donni.

Sikap serupa disampaikan oleh Bupati OKI, H. Iskandar, SE. Ia mengajak masyarakat untuk sadar hukum dan menghormati nilai sejarah benda-benda temuan. “Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setiap orang wajib melaporkan penemuan benda yang diduga cagar budaya,” jelas Iskandar.

Ia menekankan, laporan dapat dilakukan melalui pemerintah desa dan akan diteruskan ke pemerintah daerah atau pihak kepolisian. Tujuannya agar benda-benda tersebut bisa diamankan, dilestarikan, dan tidak rusak atau hilang.

Penemuan benda bersejarah yang berulang di kawasan Cengal disinyalir juga dipicu oleh motif ekonomi serta minimnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelestarian warisan budaya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata OKI, Nila Maryati, menegaskan bahwa pihaknya bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) telah turun langsung melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga.

“Benda-benda itu tidak boleh dijual kepada kolektor asing. Kami sosialisasikan bahwa meski boleh dimiliki masyarakat, status kepemilikan tetap harus jelas dan terdaftar agar mudah dilacak jika suatu saat dibutuhkan untuk penelitian,” terang Nila.

Dengan langkah pengawasan intensif dan edukasi berkelanjutan ini, Pemkab OKI berharap upaya pelestarian warisan budaya dapat terjaga, serta masyarakat dapat lebih bijak dalam menyikapi setiap penemuan benda bersejarah di wilayahnya.

(mgs/red)

Bupati OKI Imbau Warga Laporkan Temuan Cagar Budaya, Pemkab Gencarkan Edukasi dan Pengawasan

OKI, morgesiwe.com – Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menaruh perhatian serius terhadap pelestarian benda-benda yang diduga sebagai cagar budaya, khususnya di wilayah Kecamatan Cengal. Menyikapi maraknya pencarian benda kuno oleh masyarakat, Bupati OKI, H. Iskandar, SE, mengimbau warga untuk tidak melakukan penggalian massal tanpa izin serta segera melaporkan setiap temuan benda yang diduga memiliki nilai sejarah.

"Karena itu kami minta supaya dilaporkan jika ada penemuan. Jangan digali sembarangan," tegas Iskandar, Minggu (6/10).

Iskandar menjelaskan, kewajiban tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa setiap warga negara yang menemukan benda atau situs yang diduga sebagai cagar budaya wajib melaporkannya paling lama 30 hari kepada instansi berwenang, kepolisian, atau pihak terkait.

Pelaporan ini dinilai penting untuk menyelamatkan benda-benda tersebut dari kerusakan atau hilang, serta memastikan proses pelestarian dapat dilakukan secara tepat.

Motif Ekonomi dan Kurangnya Edukasi

Fenomena pencarian benda bersejarah di Kecamatan Cengal, menurut Bupati, kerap dilatarbelakangi motif ekonomi dan minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya cagar budaya.

“Kejadian seperti ini sudah sejak 2015. Kita terus edukasi masyarakat untuk melapor jika menemukan benda peninggalan sejarah,” ungkap Iskandar.

Pemkab OKI pun secara aktif melakukan pendataan bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi dan Balai Arkeologi Palembang. Bahkan pada tahun 2017, tim Dinas Kebudayaan bersama peneliti dari BPCB sudah turun langsung ke lokasi.

Pemantauan Ketat dan Antisipasi Kerawanan Sosial

Camat Cengal, M. Taufik, menjelaskan bahwa beberapa temuan benda diduga cagar budaya berawal dari aktivitas galian alat berat milik perusahaan di wilayah tersebut.

“Tidak ada warga yang berbondong-bondong menggali, tapi memang ada beberapa yang coba mencari peruntungan setelah melihat temuan dari galian alat berat,” terangnya.

Pemerintah kecamatan dan desa setempat terus memantau aktivitas warga dan mendata setiap benda yang ditemukan, serta mengimbau masyarakat untuk segera melaporkan penemuan.

Menanggapi potensi kerawanan sosial akibat isu perburuan "harta karun", Kapolda Sumsel Irjen Pol. Firli Bahuri turut memberikan atensi khusus dengan melakukan pemantauan langsung ke lokasi.

“Pak Kapolda sudah minta Kapolres dan jajaran terus pantau lokasi. Kita juga sudah minta camat dan kades jaga keamanan wilayah dan antisipasi warga luar yang berdatangan,” ujar Sekda OKI, H. Husin.

Warisan Budaya untuk Generasi Mendatang

Tak hanya itu, semangat pelestarian budaya juga terus digelorakan lewat tradisi dan upacara adat masyarakat. Salah satunya yang dilakukan di Desa Jermun, Kecamatan Cengal, berupa upacara adat sebagai bentuk syukur atas hasil pertanian dan perlindungan dari marabahaya.

“Tradisi ini sudah lama tidak dilakukan. Di tahun kedua saya menjabat sebagai kepala desa, saya ingin menghidupkannya kembali,” kata Kades Jermun, Abus Roni.

Kasubbag Media dan Komunikasi Publik Setda OKI, Adi Yanto, yang juga putra asli Desa Jermun, menyebut upacara adat ini merupakan warisan leluhur yang perlu dijaga dan bisa menjadi bagian dari wisata budaya OKI.

“Bumi adalah tempat masyarakat melangsungkan hidup. Upacara ini adalah bentuk syukur kepada alam. Kita harap bisa dijadikan agenda budaya daerah,” ujar Adi.

Adi juga menyampaikan rencana untuk berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata guna menjadikan tradisi ini sebagai daya tarik wisata budaya yang memperkaya khazanah OKI.


Redaksi | morgesiwe.com
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Maju Bersama Budaya dan Sejarahnya

Senin, 05 Maret 2018

Danau Teloko, Destinasi Wisata Eksotis di Kayuagung yang Dikelola Dana Desa

OKI, morgesiwe.com – Akhir pekan tak selalu harus dihabiskan dengan bepergian jauh ke luar kota. Kini, warga Ogan Komering Ilir (OKI) dan sekitarnya punya pilihan destinasi wisata eksotis yang dekat dan terjangkau. Terletak di Desa Tanjung Serang, Kecamatan Kota Kayuagung, Danau Teloko hadir sebagai primadona wisata baru yang sukses dikelola melalui dana desa.

Sejak diresmikan oleh Bupati OKI nonaktif, H. Iskandar, SE pada Februari lalu, Danau Teloko telah menyedot perhatian ribuan wisatawan. Keindahan alamnya yang memanjakan mata, ditambah suasana sejuk dan alami, membuat danau ini viral di media sosial dan menarik banyak pengunjung.

"Tahu dari medsos, ramai, kelihatan bagus. Jadi penasaran datang ke sini," ujar Triyanti Said, salah satu pengunjung yang datang bersama keluarganya.

Dikelola oleh BUMDes, Raup Pendapatan Puluhan Juta

Pengelolaan Danau Teloko dilakukan oleh BUMDes Tanjung Mayan. Kepala Desa Tanjung Serang, Hermayani, mengungkapkan bahwa pengunjung membludak terutama saat akhir pekan, bahkan bisa mencapai 300 orang per hari.

"Tanggal 28 Februari kemarin, BUMDes mencatat pendapatan hingga Rp 28 juta. Ini baru berjalan belum genap sebulan, alhamdulillah," ujar Hermayani penuh semangat.

Tak hanya menguntungkan desa, kehadiran Danau Teloko juga memberi dampak ekonomi langsung ke masyarakat. Warga sekitar mendapatkan penghasilan tambahan dari jasa sewa perahu getek, parkir kendaraan, hingga warung makan.

"Warga sangat antusias, karena kini mereka punya penghasilan tambahan dari aktivitas wisata," tambah Hermayani.

Wisata Air, Kuliner Terapung, hingga Spot Memancing

Keindahan Danau Teloko terbentang di lahan seluas 250 hektare. Pengunjung bisa menikmati panorama alam dengan naik getek, menyusuri danau menggunakan kapal wisata BUMDes berkapasitas 20 orang, hanya dengan paket Rp 70.000 sudah termasuk makan siang.

Selain itu, tersedia restoran terapung yang menyajikan hidangan khas daerah. Suasana makan di tengah danau yang sejuk menjadi pengalaman unik tersendiri.

Bagi para pemancing, Danau Teloko juga jadi spot favorit. Baik di pinggiran maupun tengah danau, tersedia perahu warga yang dapat disewa untuk menikmati hobi memancing dengan lebih puas.


Akses Mudah dan Harga Ramah Kantong

Danau Teloko terletak strategis, hanya sekitar 20 menit dari pusat Kota Kayuagung. Harga tiket masuknya pun sangat ramah di kantong, hanya Rp 15.000 per orang, termasuk sewa getek.

Camat Kota Kayuagung, Dedy Kurniawan, S.STP, menyebutkan bahwa pihak desa juga terus berinovasi. Salah satunya dengan menyediakan paket trip wisata untuk menambah pengalaman menarik bagi pengunjung.

"Kami terus dorong pengelola agar menambah wahana baru dan memperbaiki layanan. Tahun ini rencananya pulau kecil di tengah danau akan dikembangkan sebagai spot wisata tambahan," tutup Hermayani.

Jadi, jika kamu mencari tempat berlibur yang dekat, murah, dan memikat, Danau Teloko adalah jawabannya. Nikmati akhir pekan bersama keluarga dengan cara yang menyenangkan, sambil turut mendukung ekonomi lokal.