Rabu, 14 Oktober 2020

RUMAH ADAT BENGKULAH BERTAHAN HINGGA ZAMAN NOW


Rumah Depati Bahar masih berdiri kokoh di Desa Pulau Gemantung Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir. Rumah ini jadi saksi sejarah perubahan zaman yang dibangun 14 tahun setelah letusan Gunung Krakatau 1883 dan sanggup bertahan hingga kini. 


Rumah adat Bengkulah merupakanpeninggalan Pangeran dan Pesirah Kemargaan Bengkulah yang berpusat di Desa Negeri Ratu saat ini Desa Pulau Gemantung Induk Dusun III, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. 


Pulau Gemantung merupakan salah satu desa tua yang secara administratif termasuk Wilayah Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. 


Kini Pulau Gemantung dimekarkan menjadi empat desa yaitu Pulau Gemantung Induk (Pusat), Pulau Gemantung Ilir (Hilir/Sabah), Pulau Gemantung Ulu (Hulu) dan Pulau Gemantung Darat (Urai - Urai). 


Meski telah mekar, secara kultur dan lingkungan, masyarakat Pulau Gemantung masih berbaur dengan akrab antara satu desa dengan desa yang lainya, ini disebabkan karena pada awal mulanya desa tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh.


Dilihat dari suku, Masyarakat Pulau Gemantung merupakan uraian suku Komering Bengkulah. Satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7. Di situ mereka beranak-pinak dan membentuk suku atau marga.


Zawawi Kamil dalam Menggali Babad & Sedjarah Lampung menyebutkan suku Komering, terbagi beberapa marga, di antaranya Marga Paku Sengkunyit, Marga Sosoh Buay Rayap, Marga Buay Pemuka Peliyung, Marga Buay Madang, Marga Semendawai (OKU) dan Marga Bengkulah (OKI).


Dikatakan Zamawi ada beberapa kepercayaan masyarakat Komering Bengkulah akan asal usul mereka. Salah satunya, tentang cerita turun temurun seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tan Dipulau, yang menjadi tamu di daerah Marga Semendawai Suku III.


Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tan Dipulau berlabuh dan menetap di daerah Marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan.


Keturunan Tan Dipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, Marga Semendawai disebut keturunan Tan Dipulau dari Dusun Kuripan. Sedangkan untuk di Marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam. 


Secara budaya masyarakat Bengkulah dipengaruhi oleh tiga kerajaan serumpum melayu, diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Skala Brak (Daerah Ranau perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung) dan Kesultanan Palembang Darussalam yang pernah berjaya dimasing - masing masanya dan membawa pengaruh yang melekat hingga kini.


Hal ini terbukti dari bahasa, adat istiadat budaya yang berlaku. Bahasa yang dipergunakan sehari-hari, makanan hingga arsitektur rumah adat bengkulah yang kental dengan nuansa melayu dan Sriwijaya. 


Ditemui Kamis, (7/3) Syaiful Bahar bin Depati Bahar yang merupakan keturunan langsung H. Rais pendiri rumah adat Bengkulah mengungkapkan dulunya rumah ini merupakan pusat Pemerintahan Marga atau suku. 


Diceritakan Syaiful Pada awal berdirinya pusat pemerintahan suku Bengkulah terletak di Tepi Sungai Bengkulah, Tiuh Usang Desa Negeri Ratu (Saat ini terletak Sabah/ Pulau Gemantung Ilir) dan dikarenakan terdapat musibah kebakaran yang melanda sebagian besar rumah warga, saat itu, maka pusat pemerintahan mulai dipindahkan ke Kampung Balak Desa Negeri Ratu (Sekarang Dusun III Desa Pulau Gemantung Induk).


Rumah ini didirikan oleh Pesirah Haji Rais (Menantu Pangeran Haji Hasan) bin Penghulu H. Tohir bin Penghulu H. Muhammad dan didiamini keturunannya hingga sekarang. 


Bangunan yang berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 120 meter persegi itu terlihat masih sangat megah. Rumah yang berbahan utama kayu tersebut memiliki filosopi mempertahankan adat istiadat maupun nilai-nilai syariat Islam.


“Tidak ada yang berubah, yang berubah hanya zaman dulu rumah ini baru sekarang tampak tua” Canda Syaiful Bahar. 


Memang tidak banyak yang berubah pada rumah tersebut. Baik dari interior maupun perabot rumah tangganya.


Didinding luar dan pagar rumah terdapat releif terbuat dari besi dan kayu sedangkan interior rumah dipenuhi ukiran khas Palembang dan Sriwijaya. 


Diruang tamu, terapat sebuah kaca berukuran cukup besar berdampingan dengan guci tua yang belum diketahui berasal dari dinasti apa. Di samping pintu masuk ruang tamu juga terdapat peti kayu yang amat berat dengan tinggi sepinggang orang dewasa. Syaiful Bahar enggan menceritakan kegunaan peti tersebut pada zaman itu. 


Diatas peti ada photo usang hitam putih menempel di dinding. Tampak beberapa pria paruh bayah sedang berbaris rapi. Dilihat dari perawakan dan pakaiannya mereka sepertinya bukan orang biasa. Setidaknya mereka adalah keturunan pangeran ataupun pemimpin di masa itu.


Saat ditanya siapa orang-orang di photo tersebut, Bahar menyebutkan bahwa mereka adalah kakek buyutnya yang turut berjuang mengusir penjajah. 


Dilihat dari segi arsitektur, Bangunan utama rumah dibangun dengan kayu merawan sedangkan tiang-tiangnya terbuat dari kayu unglen.


Dibangun dengan sistem baji, rumah ini memiliki tingkat kelenturan yang tinggi apabila terjadi gempa bumi. Tiang penyangga besar dan kokoh dan tak tampak ada sambungan maupun paku. 


“Lihat tidak ada sambungan di lantai rumah” ungkap Syaiful sambil menunjuk lantai dan dinding rumah yang terbuat dari kayu merawan. 


Rumah Depati Bahar menghadap matahari terbit. Pemilihan arah rumah menghadap menurut Syaiful memiliki makna tersendiri. Berdasar hukum arah mata angin, Timur dipercaya dapat memberikan cahaya, harapan, tenteram, damai, dan nyaman. Tidak hanya itu, tambahnya arah menghadap rumah pun bermakna menatap pada masa lalu yang bila diartikan pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam menyikapi masa lalu yang bisa dibawa ke masa kini.


Menutup ceritanya Bahar menuturkan bahwa pada awalnya, Rumah adat bengkulah berfungsi sebagai kediaman depati atau pesirah. 


Pria lebih dari setengah abad ini berpesan generasi sekarang tidak kehilangan jati diri meski tergerus kemajuan zaman, ajaran dan petuah leluhur jangan pernah ditinggalkan.


“Zaman boleh berubah, manusianya jangan berubah, boleh ilmu setinggi langit tapi jangan pernah lupakan bumi, ingat leluhur berpegang teguh dengan agama” pesan Syaiful Bahar kepada para milenial. 


Kini rumah adat suku bengkulah atau rumah depati Bahar telah dicatatkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Pariwisata setempat untuk mengingatkan kejayaan suku Bengkulah di wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Selasa, 13 Oktober 2020

PENGUNJUNG DANAU TELOKO RAMAI, JADI SUMBER PENDAPATAN BARU WARGA


Hari libur adalah waktu tepat untuk bersenang-senang dengan keluarga dan orang terdekat untuk melepas penat setelah sepekan penuh berkutat dengan pekerjaan. 


Jika ingin berlibur, Tidak perlu jauh-jauh keluar kota, Kini di Kecamatan Kota Kayuagung Ogan Komering Ilir tepatnya di Desa Tanjung Serang sudah ada obyek wisata eksotis ‘Danau Teloko’ yang sukses dikelola melalui dana desa. 


Sejak diresmikan oleh Bupati Ogan Komering Ilir Nonaktif H. Iskandar, SE pada Februari lalu, danau ini sudah dikunjungi wisatawan hingga ribuan orang. 


Pengunjung yang datang ke Danau Teloko rata-rata mengetahui keindahan danau teloko dari media sosial. 


“Tau dari medsos, ramai, Kelihatan bagus. Jadi penasaran datang kesini” ungkap Triyanti Said salah satu pengunjung. 


Kepala Desa Tanjung Serang Hermayani mengungkapkan ramainya pengunjung yang datang mengakibatkan antrian di dermaga pemberangkatan. 


“Kalau hari libur atau sabtu minggu seperti ini pengunjung hampir 300 orang, hari kerja juga kisaran hingga 50 orang. Jadi sampai antri naik perahu untuk menuju kesana” Ungkap Hermayani saat dihubungi melalui ponselnya, Minggu (4/3/18). 


Potensi Danau yang kini dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tanjung Mayan itu ungkap Hermayani sudah menjadi income desa. 


“Tanggal 28 Februari kemaren BUMDES bukukan pendapatan hingga Rp 28 juta. Lumayan belum satu bulan dibuka” tuturnya Sumringah 


Selain menguntungkan desa menurut Hermayani ramainya pengunjung danau teloko jadi sumber pendapatan baru warganya 


“Alhamdulilah warga senang mereka bisa mendapat pengahasilan tambahan dari sewa perahu getek dan parkir kendaraan pengunjung” Tutur dia. 


Kedepan menurut dia pemerintah desa dan pengelola akan terus meningkatkan pelayanan bagi pengunjung serta menambah wahana baru agar wisatawan tidak bosan. 


“Kita terus inovasi buat permainan baru, tahun ini rencananya kita DAM pulau yang ada ditengah danau bisa untuk spot baru” pungkasnya. 




Sementara itu Camat Kota Kayuagung, Dedy Kurniawan, S. STP mengungkapkan Untuk menarik minat masyarakat berkunjung, pihak desa juga sudah menyiapkan paket trip wisata. Pengunjung akan diajak berkeliling danau menggunakan kapal BUMDes berkapasitas 20 penumpang. Harga paket yang ditawarkan sangat terjangkau. 


Berkisar Rp70 ribu per orang. “Sudah termasuk paket makan siang,” terangnya. 


Bentangan Obyek Wisata Danau Teloko sendiri seluas 250 hektar. Sepanjang memandang mata akan dimanjakan riak air dan hembusan angin yang menenangkan. 


Selain indah, Danau Teloko memang strategis. Lokasinya tidak jauh dari pusat keramaian kota Kayuagung. Hanya berkisar 20 menit saja. Tiket yang ditawarkan juga terbilang murah hanya Rp 15.000 perorang termasuk sewa getek milik warga. 


Pengunjung dapat menikmati suasana keindahan danau dari restoran terapung yang disediakan oleh pengelola sambil menikmati hidangan khas daerah. 


Bagi pengunjung yang gemar melakukan aktivitas memancing, melempar joran di Danau Teloko juga menjadi kegiatan mingguan yang sangat menyenangkan. Tidak hanya di tepian danau, para pemancing juga dapat melempar joran di tengah danau dengan perahu milik warga yang disewakan.

Senin, 12 Oktober 2020

TRADISI WARGA JERMUN SYUKURI NIKMAT


Sore itu sebelum Magrib warga Desa Jermun Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir berduyun-duyun menuju tanah lapang. Tua, muda, bahkan anak-anak diajak orang tua untuk mengikuti ritual sedekah obat. 


Sekelompok pemuda tampak mengelilingi warga dengan kayu memali sejenis kayu gaharu yang telah dikupas bersih. Kayu tersebut disusun rapi mengurung warga peserta ritual sedekah obat. Jika telah masuk waktu ritual, tidak seorang pun diperbolehkan keluar masuk dari lingkaran tersebut. 


Berselang beberapa menit ketua adat desa pun keluar dengan membawa teko besar berisi air yang sudah dicampur rempah daun paya. Dibelakangnya berbaris anak-anak muda yang membawa teko dengan ukuran yang sama. 


Air dalam teko tersebut lalu dipercikan satu persatu kepada tiap warga. Setelah mengikuti ritual, warga lalu menikmati hidangan yang terdiri dari makanan tradisional seperti gula kelapa, sagon dan lemang dan tidak ketinggalan pisang emas.


Ritual sedekah obat berlangsung selama empat hari berturut-turut. Di hari pertama hingga ketiga warga harus berpantang, yaitu dilarang pergi kesawah ataupun ke kebun bahkan dilarang keras memegang senjata tajam.


Warga percaya, bila dilanggar akan mendatangkan mara bahaya apalagi dihari ketiga yang disebut dengan pantang perit (pantang ketat), warga dilarang melakukan aktifitas berat.


Disore hari menjelang magrib, setiap rumah memasang bambu kuning yang diselipkan di atap plapon rumah. Bambu kuning itu melambangkan keberanian dan kesejahteraan. Banyaknya bambu kuning yang melekat di atap rumah, melambangkan sudah berapa kali penghuni rumah tersebut mengikuti sedekah obat. Lalu dibawah tangga kepala rumah tangga menyalakan api dengan sabut kelapa sebagai simbol mengusir setiap mara bahaya. Dimalam harinya, tidak ada seorang wargapun yang berani keluar rumah. Ritual ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut. 


Dihari keempat selepas berpantang, digelar sedekah dawet. Yakni warga yang mampu membuat kolak dawet di rumah masing-masing lalu dawet tersebut dibagikan ke warga yang kurang mampu serta jiron tetangga. Usai sedekah dawet, tuntaslah ritual sedekah obat. 


Upacara sedekah obat mencerminkan sifat gotong-royong masyarakat desa Jermun yang masih kuat. Mereka dengan ikhlas menyisihkan rezeki sekadar membuat dan membawa sejumlah hidangan, untuk disantap bersama seusai upacara. Tidak ada jarak yang memisahkan baik miskin, kaya, tua, dan muda. Semua larut dalam kebersamaan.



Semua kebutuhan sedekah ditanggung bersama sama bahkan dimasak dengan bersama-sama pula. Hidangan yang disediakan juga unik. Ada lemang yang terbuat dari tepung beras yang dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar diatas tungku api. Ada sagon yang terbuat dari tepung terigu dicampur kelapa dimasak dengan gula pasir, ada juga gulo puan, yaitu hasil permentasi susu kerbau yang jadi ciri khas kecamatan Pampangam. Hidangan yang disediakan menurut warga memiliki makna tersendiri dan jarang dimasak kecuali digelaran sedekah obat.


Tujuan upacara sedekah obat menurut Kepala Desa Jermun, Abus Roni agar keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat menyertai seluruh warga desanya. 


“Tujuan lainnya adalah untuk menyedekahi desa, agar hasil pertanian melimpah dan terhindar dari segala macam mara bahaya” Ungkap Abus Roni, Sabtu, (11/11). 


Tradisi yang sudah turun temurun ini menurut Abus sudah lama tidak dilaksanakan. Di tahun ke dua kepemimpinannya sebagai kepala desa, dia ingin kembali menghidupkan tradisi leluluhur ini.


“Sudah lama tidak dilaksanakan, ini upaya kita untuk menghidupkannya kembali” tambahnya.


Kasubbag. Media dan Komunikasi Publik Setda OKI, Adi Yanto yang juga merupakan putra kelahiran Desa Jermun menambahkan, upacara adat tersebut sudah dilaksanakan sejak dulu. Ketika dirinya masih kecil dan diajak kakeknya untuk datang di upacara itu. 


“Itu ungkapan rasa syukur, sebagian besar warga disanakan petani, ketergantungan mereka kepada alam sangat tinggi. Oleh karena itu, dirasa perlu mengadakan upacara adat ini. Bumi tidak lain adalah tanah, tempat mereka melangsungkan hidup dan kehidupannya,” tandas Adi.


Adi berharap tradisi ini dapat terus dilestarikan. Dia juga akan berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Pariwisata agar tradisi ini bisa dijadikan wisata budaya daerah yang mampu menambah khasanah budaya Ogan Komering Ilir


“Ini warisan budaya leluhur, patut kita jaga agar budaya tersebut bisa diturunkan ke generasi selanjutnya. Bahkan bisa jadi destinasi wisata budaya” tutupnya.

Rabu, 09 Oktober 2019

TIM ARKEOLOG LAPORKAN HASIL OBSERVASI DI KECAMATAN CENGAL

Tim Arkeologi melaporkan hasil observasi di lokasi penemuan diduga benda cagar budaya di Kecamatan Cengal Kabupaten OKI kepada Pemkab OKI

Tim yang terdiri dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbagsel, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata unsur TNI dan Polri ini juga memberikan rekomendasi terkait penyelamatan lokasi ditemukannya benda-benda yang diduga cagar budaya tersebut.

“Kami melakukan observasi lapangan serta sosialisasi kepada masyarakat sekitar terkait penemuan benda-benda tersebut. Kami tidak bisa memastikan apakah itu benda cagar budaya peninggalan Sriwijaya atau bukan karena dibutuhkan riset lebih mendalam”Ungkap Kepala Balai Arkeologi Sumsel, Budi Wiyana di Kantor Bupati OKI, Rabu (8/10).

Budi mengungkap Balai Arkeologi Sumsel telah melakukan penelitian di Pesisir Timur OKI ini sejak 2000 silam.

“Di Beberapa situs seperti Karang Agung, Air Sugihan dan Tulung Selapan kita temukan tiang-tiang pemukiman” tambah Budi.

Sementara Itu, Ignitius Suharno peniliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbagsel merekomendasikan upaya penyelamatan hasil temuan warga berupa benda yang diduga cagar budaya tersebut

“Untuk kepentingan penelitian dan identitas, perlu langkah tepat agar kejadian ini tidak berulang, jika tak memiliki setidaknya kita memegang data barang-barang penemuan tersebut” Kata Harno.

Adapun rekomendasi tim arkeologi ini diantaranya menguatkan upaya persuasif berupa sosialisasi perlindungan cagar budaya kepada masyarakat serta dampak sosial juga kesehatan bagi warga mencari benda diduga cagar budaya di lokasi tersebut.

Kedua, pembentukan tim yang terdiri dari berbagai unsur untuk melakukan upaya pelestarian dan perlindungan lokasi tempat ditemukannya benda-benda di duga cagar budaya serta tindaklanjut jangka panjang penetapan cagar budaya di lokasi tersebut.

“Langkah awalnya adalah penyelamatan dulu lokasi dan benda-benda yang ditemukan” Ungkap Harno.

Terhadap rekomendasi tim arkeologi, Pemkab OKI segera menindaklanjuti dengan menunggu hasil laporan tertulis dari tim observasi.

“Rekomendasi tertulis dari tim arkeolog ini tentu menjadi dasar bagi kami Pemkab untuk segera mengambil kebijakan” Ungkap Asisten I Setda OKI, Antonius Leonardo.

Anton mengungkap terhadap penemuan benda-benda bersejarah di beberapa lokasi kecamatan Cengal Pemkab terus melakukan koordinasi dengan Balai Arkeologi dan BPCB, Himbauan kepada masyatakat menurut dia juga telah dilakukan.

“Koordinasi berbagai sektor ini terus kita kuatkan, masyarakat juga kita minta untuk melapor jika menemukan benda-benda diduga cagar budaya tersebut” tutupnya.



ARKEOLOG APRESIASI UPAYA PEMKAB DI LOKASI PENEMUAN BENDA BERSEJARAH

Tim arkeologi yang terdiri dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbagsel, mengapresiasi upaya sigap Pemerintah Daerah dan Polres OKI dalam mengantisipasi kerawanan sosial lokasi ditemukannya benda-benda yang diduga cagar budaya di Kecamatan Cengal.
“Kami apresiasi upaya sigap Pak Bupati dan Kapolres untuk mengantisipasi kerawanan di lokasi tersebut, bahkan Kapolres turun langsung ke lokasi sebelum kami” Ungkap Budi Wiyana Kepala Balai Arkeologi Sumsel di Kantor Bupati OKI, Rabu, (11/10).
Budi mengungkap tidak mudah untuk menyebutkan benda-benda yang ditemukan warga di beberapa di lokasi di Kecamatan Cengal sebagai cagar budaya atah harta karun.
“Jadi kalau penyebutannya harta karun maka konotasinya barang yang perlu dicari, kami peniliti sangat berhati-hati dalam penyebutan itu” tungkasnya.
Sementara Itu, Ignatius Suharno peniliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbagsel menyarankan penguatan dan sosilasi kepada masyarakat di sekitar lokasi penemuan.
“Langkah yang dilakukan oleh Polsek dan Polres berupa himbauan dampak hukum pencarian atau pengerusakan lokasi yang diduga cagar budaya sangat apresiasi, edukasi dan penyadaran kepada masyarakat sangat penting” Ungkap Suharno.
Sebelumnya, Bupati OKI, H. Iskandar, SE menghimbau warganya untuk tidak melakukan penggalian massal serta melaporkan setiap penemuan benda di duga cagar budaya di Kecamatan Cengal Kabupaten OKI.
Iskandar menjelaskan berdasarkan undang-undang, setiap orang wajib melaporkan jika menemukan benda-benda yang bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.
“Karena itu kami meminta supaya dilaporkan, kalau ada penemuan,” kata Iskandar, Sabtu, (6/10).
Kapolres OKI, AKBP Dony Eka Saputra yang turun langsung kelokasi juga menghimbau warga tidak tergoda untuk melakukan pencarian
“Nanti sudah keluarkan uang ternyata tidak ada, ini bisa berakibat adanya gesekan antara warga lokal dan pendatang,” ujar Kapolres dilansir dari Beritaanda.
Apalagi jika warga berbondong-bondong datang tambahnya akan dimanfaatkan oknum tidak bertanggungjawab
“seperti menyatroni rumah yang kosong akibat warga berbondong-bondong kelokasi pencarian” tuturnya.

Minggu, 06 Oktober 2019

ANTISIPASI KERAWAN SOSIAL DAN PERBURUAN HARTA KARUN OLEH ORANG ASING

Penemuan benda-benda diduga cagar budaya di Kecamatan Cengal Kabupaten OKI dikhawatirkan akan memicu kerawanan sosial juga menghindari barang-barang bersejarah itu dijual ke orang asing

Untuk itu, Kapolda Sumsel, Irjen Pol Firli Bahuri melakukan pantauan udara di kawasan Cengal Kabupaten OKI.

“Kerawanan itu yang kami antisipasi. Sudah menjadi atensi langsung pak Polda,” ungkap Sekda OKI, Husin usai menyambut kunjungan Kapolda di Mapolres OKI, Minggu (6/10).

Menurut Sekda, Kapolda Sumsel memerintahkan Kapolres OKI dan jajaran untuk terus memantau lokasi penemuan. Demikian halnya Bupati juga meminta camat dan kepala desa untuk menjaga keamanan kawasan serta mengantisipasi orang luar dan warga negara asing (WNA) yang berdatangan tanpa izin untuk berburu harta karun.

Patroli udara Kapolda dibenarkan Kapolres OKI AKBP Donni Eka Syaputra SH Sik MM.

“Beliau (Kapolda) tidak ke sana (Cengal). Hanya memantau dari udara,” ungkap Kapolres.

Kapolres mengimbau agar warga tidak melakukan aktivitas penggalian massal serta melaporkan penemuan benda-benda bersejarah atau cagar budaya kepada pihak berwajib.

“Kami (Polres OKI) mengimbau warga untuk tidak melakukan tindakan (penggalian massal), melaporkan kepada aparat (bila menemukan benda bersejarah), serta saling berjaga-jaga di kawasan tersebut, bersama-sama aparat dan pemda,” tegasnya.

Sebelumnya, Bupati OKI, H Iskandar SE juga mengimbau warga tidak melakukan penggalian massal serta melaporkan setiap penemuan benda diduga cagar budaya di lokasi yang tersebar di Kecamatan Cengal.

Iskandar menjelaskan, berdasarkan undang-undang, setiap orang wajib melaporkan jika menemukan benda-benda yang bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.

“Karena itu kami meminta supaya dilaporkan, kalau ada penemuan,” kata Iskandar, Minggu (6/10).

Masyarakat, tambahnya, bisa melaporkan temuan benda diduga cagar budaya itu kepada pemerintahan desa untuk diteruskan kepada pemerintah daerah atau melaporkannya ke kepolisian. Perlindungan benda cagar budaya diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pelaporan penemuan benda kuno yang diduga sebagai benda cagar budaya menurut dia penting agar bisa diselamatkan dari kerusakan, serta bisa dilestarikan.

Berulangnya pencarian benda diduga peninggalan sejarah di Kecamatan Cengal dan sekitarnya didorong motif ekonomi serta akibat kurangnya pemahaman warga terhadap pentingnya menyelamatkan serta melestarikan benda-benda cagar budaya.

Untuk itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata OKI, Nila Maryati mengungkap pihaknya bersama BPCB telah melakukan sosialisai dan edukasi kepada masyarakat soal barang temuan tersebut agar jangan dijual pada pihak asing dan didaftarkan.

“Tak boleh dijual ke kolektor asing. Kalau kami sudah sosialisasikan, boleh barang itu dimiliki masyarakat, tapi tahu barang itu nanti kepemilikan sama siapa. Kalau mau penelitian mudah dicari,” imbuh Nila.

MARAK PENEMUAN BENDA PURBAKALA, BUPATI OKI HIMBAU WARGA WAJIB LAPOR

Bupati OKI, H. Iskandar, SE menghimbau warganya untuk tidak melakukan penggalian massal serta melaporkan setiap penemuan benda di duga cagar budaya di Kecamatan Cengal Kabupaten OKI.

Iskandar menjelaskan berdasarkan undang-undang, setiap orang wajib melaporkan jika menemukan benda-benda yang bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.

“Karena itu kami meminta supaya dilaporkan, kalau ada penemuan,” kata Iskandar, Minggu, (6/10).

Masyarakat tambahnya bisa melaporkan temuan benda diduga cagar budaya itu kepada pemerintahan desa untuk diteruskan kepada pemerintah daerah atau melaporkannya ke kepolisian.

Perlindungan benda cagar budaya diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pasal tersebut meminta kepada warga negara yang menemukan benda yang diduga cagar budaya, bangunan yang diduga bangunan cagar budaya, struktur yang diduga struktur cagar budaya, dan/atau lokasi yang diduga situs cagar budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.

“Pelaporan penemuan benda kuno yang diduga sebagai benda cagar budaya penting agar bisa diselamatkan dari kerusakan, serta bisa dilestarikan” Ungkap Iskandar.

Berulangnya pencarian benda diduga peninggalan sejarah di Kecamatan Cengal dan sekitarnya karena motif ekonomi dan akibat kurangnya pemahaman warga terhadap pentingnya menyelamatkan serta melestarikan benda-benda cagar budaya.

Untuk itu, upaya edukasi terus dilakukan Pemkab OKI

“Kejadian ini sejak 2015, kita sudah edukasi warga warga untuk melaporkan setiap penemuan benda-benda yang diduga peninggalan sejarah” Ungkap Iskandar.

Selain edukasi, upaya pendataan juga telah dilakulan Pemkab OKI bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

“Kita terus lakukan koordinasi dengan BPCB yang di Jambi maupun Balai Arkeologi Palembang. Tahun 2017 lalu Dinas Kebudayaan bersama peneliti BPCB turun ke lokasi” Ujar Iskandar.

Sementara itu, Camat Cengal, M. Taufik mengungkap penemuan benda diduga cagar budaya berawal dari galian alat berat Perusahaan di wilayah tersebut.

“Kalau berbondong-bendong kesana (mencari harta karun) tidak ada, ada beberapa yang mencoba mencari peruntungan awalnya dari galian alat berat itu”ungkapnya.

Taufik mengungkap pihaknya bersama pemerintah desa terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas warga yang melakukan pencarian.

“Kalau ada penemuan upayanya sekarang kita data kemana barang-barang tersebut. Kita himbau warga untuk melapor” Tungkasnya.

Antisipasi Kerawanan Sosial

Penemuan benda-benda diduga cagar budaya di Kecamatan Cengal Kabupaten OKI dikhawatirkan akan memicu kerawanan sosial.

Untuk itu, Kapolda Sumsel, Irjen. Pol. Firli Bahuri melakukan pantauan langsung ke lokasi.

“Kerawanan itu yang kita antisipasi dan ini Sudah menjadi atensi langsung pak Polda” Ungkap Sekda OKI usai menyambit kunjungan Kapolda di Mapolres OKI, pada Sabtu, (6/10).

Kapolda menurut Husin memerintahkan Kapolres dan jajaran untuk terus memantau lokasi penemuan.

Bupati menurut dia juga meminta kepada camat dan kepala desa untuk menjaga keamanan kawasan serta mengantisipasi orang luar yang berdatangan untuk berburu harta karun.

Senin, 05 Maret 2018

PENGUNJUNG DANAU TELOKO, JADI SUMBER PENDAPATAN BARU

Hari libur adalah waktu tepat untuk bersenang-senang dengan keluarga dan orang terdekat untuk melepas penat setelah sepekan penuh berkutat dengan pekerjaan. 

Jika ingin berlibur, Tidak perlu jauh-jauh keluar kota, Kini di Kecamatan Kota Kayuagung Ogan Komering Ilir tepatnya di Desa Tanjung Serang sudah ada obyek wisata eksotis ‘Danau Teloko’ yang sukses dikelola melalui dana desa. 

Sejak diresmikan oleh Bupati Ogan Komering Ilir Nonaktif H. Iskandar, SE pada Februari lalu, danau ini sudah dikunjungi wisatawan hingga ribuan orang.

Pengunjung yang datang ke Danau Teloko rata-rata mengetahui keindahan danau teloko dari media sosial.

“Tau dari medsos, ramai, Kelihatan bagus. Jadi penasaran datang kesini” ungkap Triyanti Said salah satu pengunjung. 

Kepala Desa Tanjung Serang Hermayani mengungkapkan ramainya pengunjung yang datang mengakibatkan antrian di dermaga pemberangkatan. 

“Kalau hari libur atau sabtu minggu seperti ini pengunjung hampir 300 orang, hari kerja juga kisaran hingga 50 orang. Jadi sampai antri naik perahu untuk menuju kesana” Ungkap Hermayani saat dihubungi melalui ponselnya, Minggu (4/3/18).

Potensi Danau yang kini dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tanjung Mayan itu ungkap Hermayani sudah menjadi income desa.

“Tanggal 28 Februari kemaren BUMDES bukukan pendapatan hingga Rp 28 juta. Lumayan belum satu bulan dibuka” tuturnya Sumringah 

Selain menguntungkan desa menurut Hermayani ramainya pengunjung danau teloko jadi sumber pendapatan baru warganya

“Alhamdulilah warga senang mereka bisa mendapat pengahasilan tambahan dari sewa perahu getek dan parkir kendaraan pengunjung” Tutur dia.

Kedepan menurut dia pemerintah desa dan pengelola akan terus meningkatkan pelayanan bagi pengunjung serta menambah wahana baru agar wisatawan tidak bosan.

“Kita terus inovasi buat permainan baru, tahun ini rencananya kita DAM pulau yang ada ditengah danau bisa untuk spot baru” pungkasnya. 

Sementara itu Camat Kota Kayuagung, Dedy Kurniawan, S. STP mengungkapkan Untuk menarik minat masyarakat berkunjung, pihak desa juga sudah menyiapkan paket trip wisata. Pengunjung akan diajak berkeliling danau menggunakan kapal BUMDes berkapasitas 20 penumpang. Harga paket yang ditawarkan sangat terjangkau.
Berkisar Rp70 ribu per orang. “Sudah termasuk paket makan siang,” terangnya.

Bentangan Obyek Wisata Danau Teloko sendiri seluas 250 hektar. Sepanjang memandang mata akan dimanjakan riak air dan hembusan angin yang menenangkan. 

Selain indah, Danau Teloko memang strategis. Lokasinya tidak jauh dari pusat keramaian kota Kayuagung. Hanya berkisar 20 menit saja. Tiket yang ditawarkan juga terbilang murah hanya Rp 15.000 perorang termasuk sewa getek milik warga. 

Pengunjung dapat menikmati suasana keindahan danau dari restoran terapung yang disediakan oleh pengelola sambil menikmati hidangan khas daerah.

Bagi pengunjung yang gemar melakukan aktivitas memancing, melempar joran di Danau Teloko juga menjadi kegiatan mingguan yang sangat menyenangkan. Tidak hanya di tepian danau, para pemancing juga dapat melempar joran di tengah danau dengan perahu milik warga yang disewakan.

Minggu, 24 September 2017

KISAH SAUDAGAR LINGKIS, BERBURU UNTUNG DENGAN KAPAL JUKUNG

Ada pemandangan menarik saat memasuki wilayah dua desa yang lokasinya memang bersebelahan. Sebagian besar rumah di Desa Lingkis dan beberapa rumah di Desa Batun Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan rumah mewah berlantai dua yang tinggi menjulang ke langit.

Rumah rumah itu tampak mencolok dengan desain khas mediterania seperti di komplek rumah mewah di kawasan elit kota besar. Setiap rumah yang terlihat megah dan mewah di depannya selalu ada pagar besi yang kokoh tegak tertancap sebagai pembatas antara jalan dan rumah. Jumlah rumah mewah itu tidak banyak. Hanya berkisar belasan saja di dua desa tersebut.

Informasi yang dihimpun, rumah-rumah megah dan mewah itu sebagian besar milik Saudagar Kapal Jukung.

Siang itu usai mengikuti kunjungan kerja Bupati Ogan Komering Ilir, H. Iskandar, SE melantik kepala desa terpilih di Kecamatan Jejawi saya ditemani beberapa orang rekan media melongok rumah rumah megah tersebut. Sebelum itu saya meminta izin kepada Kepala Desa (Kades) Lingkis Iwan Setiawan untuk ditemukan dengan salah satu saudagar tersebut. Kebetulan Kades Iwan merupakan mantan saudagar jukung yang kenyang pengalaman melaut. 

Kami diajak keliling kampung, melihat lihat rumah rumah megah.Selain milik Saudagar Jukung, rumah-rumah mewah itu juga milik warga yang bekerja sebagai petani.

Menurut Kades Iwan para saudagar jukung ini mengalami masa kejayaan pada tahun 80-an sampai 90-an. Sebab, harga bahan bakar dan ekonomi sangat stabil kala itu.

"Dulu mereka bisa dapat untung puluhan juta sekali bertarik (sekali angkut)" tutur Iwan.

Barang yang mereka angkut bermacam-macam mulai dari BBM hingga kebutuhan rumah tangga. Barang barang tersebut di beli di Palembang lalu dibawa berlayar ke wilayah pesisir seperti Air Sugihan, Sungai Lumpur, Sungsang hingga ke Selat Malaka. 

Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian saudagar jukung bisa membangun rumahnya di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.

Sambil bercerita kami dibawa Kades Iwan ke Sungai Komering yang melintasi Desa. Di atas sungai sudah berjejer puluhan kapal jukung bersandar belum lagi di anak-anak sungai di sekitarnya. Beberapa kali Kades Iwan tampak menelepon seseorang sambil terus mengarahkan mobil ke depan. Di ujung anak sungai yang melengkung kami berhenti. Kades Iwan mengajak kami turun menyusuri jalan setapak menuju sebuah Kapal Jukung Besar yang tertambat di pinggir sungai. Disamping kapal itu juga tertambat puluhan jukung lainnya. Ada yang berukuran besar, sedang dan kecil. 

Berbekal sebilah jembatan papan kami naik ke atas kapal jukung. Tampak seorang nahkoda dan beberapa anak buah kapal (ABK) memperbaiki mesin Truk PS 110 yang dimodifikasi jadi mesin kapal.

Kapal Jukung besar dengan kapasitas 100 ton itu milik Asnawi salah satu saudagar kapal jukung dari Desa Lingkis. Perawakannya kecil, kulitnya hitam karena sering tersengat matahari. Kapal Jukung milik Asnawi tidak hanya satu ini, satu unit lagi sedang dioperasikan adiknya di perairan Sungsang.

Sembari menyetel baut mesin kapal, Asnawi tampak semangat menerima kami di siang terik itu. Sejak 2003 menurutnya Kapal Jukungnya menggunakan tenaga mesin PS karena dinilai lebih bertenaga dan hemat waktu.

"Dulu pakai mesin diesel, jalannya lambat. Waktu tempuh bisa berhari-hari. Sekarang bisa lebih cepat dengan mesin PS hanya dalam hitungan 10 jam saja atau sehari semalam saja kalau perjalan jauh" tutur Asnawi.

Asnawi menceritakan kapal tersebut dia beli dari pengerajin di Industri kapal jukung Desa Kemang Bejalu, Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin harga per unitnya mencapai 400 juta rupiah sudah termasuk mesin. Kapal itu terbuat dari kayu bungur. Hasil Produksi pengerajin dari daerah itu menurutnya lebih baik dari tempat lain karena kapalnya kuat. 

Ditanya sejak kapan menjadi melakoni profesinya ini, Asnawi mengatakan sudah sejak puluhan tahun lalu dan dilakukan secara turun menurun dari orangtua.

"Seingat saya sejak tamat SD (dulu SR). Karena saya tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah taunya jadi pelaut seperti ini" pungkasnya.

Menurut Asnawi kemampuannya berlayar menggunakan kapal Jukung didapat dari orang tuanya. 

Meski tanpa dilengkapi peralatan navigasi modern Asnawi mengaku terbiasa mengarungi laut dengan kapal jukungnya. 

"Kapal ini kan beda dengan kapal-kapal modern yang lengkap alatnya, jadi kita menggunakan insting saja" tuturnya.

Sebelum berlayar menurut Asnawi harus diperhatikan benar kondisi kapal harus benar benar dalam kondisi prima baik mesin ataupun baling-baling penggerak di bagian bawah kapal.

Salah satu Ilmu pelayaran yang dia pelajari dari orang tuanya secara turun temurun, yaitu membaca arah angin dan arus air. 

"Tiupan angin itu berbeda-beda menandakan kondisi cuaca dan besar gelombang dilaut demikian dengan arus sungai jika makin deras tandanya sedang pasang surut" tuturnya.

Asnawi mengatakan ilmu alam yang dia pelajari itu jadi modal dalam berlayar.

Alur pelayaran yang dia lalui antara lain dari Desa Lingkis menyusuri Sungai Komering menuju Muara Ogan keluar ke Sungai Musi lalu menuju ke laut melalui Muara Air Sugihan, Laut Sungsang, Sungai Lumpur, Selat Bangka hingga ke Selat Malaka. Berbulan bulan Kapal Jukung milik Asnawi ini melaut. 

Barang yang di bawa menurutnya bermacam-macam mulai dari BBM, sembako hingga air tawar bagi warga yang tinggal di pesisir timur OKI dan Banyuasin.

Sambil menarawang ke atas Asnawi mengingat masa kejayaannya bersama rekan rekannya Saudagar Kapal Jukung. Di tahun 80 sampai dengan 2000 an menurut Asnawi mereka adalah pemasok utama BBM untuk nelayan di pesisir timur Sumsel. 

BBM mereka dapat dari Depo Terapung di perairan Mariana dan sepanjang Sungai Musi lalu dijual kepada nelayan di laut. 

Keuntungannya menurutnya sangat besar hingga puluhan juta. Hasil Keuntungan itu mereka gunakan untuk membuat rumah membeli kebun dan kendaraan. 

Namun sejak 2001 menurutnya Pertamina menyetop penjualan BBM melalui kapal Jukung karena Alasan keamanan dan persediaan BBM yang ada telah minim. 

Menurut dia stasiun pengisian bahan bakar umum terapung di Palembang membatasi penjualan kepada mereka. Biasanya, selama ini satu jukung minimal mendapatkan sebanyak 120 drum atau 24.000 liter dalam sebulan dan langsung dijual ke kawasan perairan. Namun, sejak itu, paling banyak 60 drum. Akibatnya, harga BBM seperti minyak tanah di kawasan Transmigrasi Karang Agung, Sungai Lilin, Sungai Sembilang, dan Sungai Lumpur semakin tinggi ketimbang harga eceran tertinggi. 

Asnawi menjelaskan, akibat kondisi itu pendapatan para penjual minyak dengan kapal jukung juga mengalami penurunan drastis belum lagi faktor keamanan dan pungli. 

Meski demikian, hingga kini Asnawi dan sebagian warga lingkis lainnya tetap memilih mencari peruntungan di sektor jasa angkutan air ini. Angkutan mereka kini pupuk bersubsidi dari pemerintah untuk petani di Air Sugihan dan wilayah Banyuasin.

Hasil angkutan pupuk menurutnya memang tidak seberapa namun jasa ini tetap mereka jalani untuk memenuhi kebutuhan keluarga

"Kalau sekarang ya sekedarnya saja, yang penting kapal jalan ada ongkos BBM" pungkasnya.

Berharap Tuah Pelabuhan Samudra
Asnawi dan para penyedia jasa angkutan kapal Jukung asal Desa Lingkis dan Batun berharap banyak terkait rencana Bupati OKI yang mengusulkan berdirinya pelabuhan Samudra di Tanjung Tapa Air Sugihan. 

Asnawi tidak bisa membayangkan kemajuan sektor jasa yang mereka geluti itu jika proyek strategis itu terwujud. 

"Apa benar? Kapan bisa dimulai" pertanyaan Asnawi mencecar saya. Setelah memberi kesempatan kepada saya untuk menjelaskan agenda besar itu, Asnawi tampak sumringah.

Ia mengaku kembali bersemangat menekuni profesinya ini. Dia percaya jika ada investasi besar yang masuk ke wilayah pesisir timur OKI itu akan berdampak positif bagi usaha yang mereka geluti.

"Tidak usah muluk-muluk, kami siap angkut sembako dan kebutuhan para pekerja proyek dermaga Tanjung Tapa" Tutupnya.

Minggu, 17 September 2017

KAJANG, PERAHU RAKYAT SRIWIJAYA

Kajang, perahu tradisional khas Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ternyata menjadi sarana transportasi favorit masyarakat perairan, khususnya sungai, pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal itu disampaikan arkeolog dan peneliti Nurhadi Rangkuti ketika dikonfirmasi Simbur beberapa waktu lalu.

“Benar. Kajang jadi alat transportasi sungai zaman Sriwijaya. Saya pernah mendokumentasikan (hasil penelitian) tentang (perahu Kajang) itu. Sayang sekali mungkin sekarang (perahu Kajang) sudah punah, sudah tidak ada lagi,” ungkapnya.

Dalam buku Kehidupan Purba di Lahan Gambut yang disusun Bambang Budi Utomo pada 2015 mencantumkan artikel terkait jejak perahu Kajang sebagai transportasi rakyat pada masa Kerajaan Sriwijaya. Pemukiman Air Sugihan diduga sudah ada sejak abad I dan berlanjut sampai dengan abad XIII.

Sehubungan dengan itu, dalam artikelnya Nurhadi Rangkuti menulis bahwa budaya tungku keran dan perahu Kajang yang pernah eksis di wilayah perairan Kabupaten OKI adalah bukti bahwa wilayah tersebut berhubungan dengan migrasi orang Austronesia. Kemungkinan leluhur masyarakat OKI memiliki tradisi penjelajah bahari Austronesia yang berlanjut pada masa Kerajaan Sriwijaya di Pesisir Timur Sumatera.

Dilansir laman Kemendikbud, perahu kajang merupakan alat transportasi tradisional sekaligus menjadi rumah pada masa lampau bagi masyarakat di sekitar Sungai Musi. Diduga, alat transportasi tradisional ini berkembang sekitar masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi). Jenis perahu ini berasal dari daerah Kayuagung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pada masa lalu perahu kajang banyak dijumpai di Sungai Musi Palembang, tetapi sekarang sudah tidak dapat dijumpai lagi.

Perahu Kajang menggunakan atap dari nipah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (kajang tarik), bagian tengah adalah atap yang tetap (kajang tetap) dan atap bagian belakang (tunjang karang). Bahan yang digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah kayu jenis kayu rengas, yang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah tersebut. Panjang perahu sekitar delapan meter dan lebar perahu dua meter. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut selungku, merupakan ciri khas perahu Kajang.

Keberadaan atap (kajang) dari daun nipah inilah yang menjadi cikal namanya. Layaknya sebuah rumah tinggal, perahu memiliki ruang tengah tempat anggota keluarga beristirahat. Pada bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Barang-barang muatan serta ruang kemudi berada di bagian depan perahu. Tata ruang perahu terdiri dari bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan merupakan ruang untuk menyimpan barang-barang komoditas yang dijual, seperti barang tembikar dan untuk kemudi. Bagian tengah adalah ruang keluarga untuk tempat tidur. Bagian belakang adalah kamar mandi dan dapur.

Perahu kajang memiliki dayung dan kemudi yang terbuat dari kayu. Panjang dayung sekitar tiga meter, sedangkan panjang kemudi sekitar dua meter. Dayung dibuat dari kayu yang lebih ringan, sedangkan kemudi dari kayu berat yang bagian tepinya diberi lempengan logam. Kemudi ditempatkan di bagian belakang, sedangkan dayung digunakan di bagian depan.

Ciri-ciri lain juga menunjukkan bahwa perahu ini merupakan tipe tradisi Asia Tenggara yaitu adanya lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).

Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Diperkirakan sejak masa awal atau proto Sriwijaya, perahu-perahu Kajang melaju di Sungai Komering, masuk ke Sungai Musi, dan lepas ke Selat Bangka, Laut Cina Selatan, hingga ke Laut Jawa. Selain membawa hasil bumi, Kajang juga membawa gerabah, seperti periuk yang terbuat dari tanah liat.

Sebaran perahu Kajang ditemukan di beberapa daerah di Malaysia, Vietnam, Jawa,dan Kalimantan. Saat Jakarta (Batavia) didirikan dan dibangun Belanda, ada pusat penjualan periuk dari daerah Kayuagung, kemudian daerah tersebut dinamai Tanjung Priok. Hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, diduga masih ada pedagang dan duta dari Kabupaten OKI berlayar ke Singapura dengan perahu Kajang. Informasi yang dihimpun, sejak tahun 1980 perahu asli Kajang pun mulai hilang (DARI BERBAGAI SUMBER)